Jakarta sudah diperingkatkan sebagai metropolitan yang paling rawan pada lingkungan di dunia, karena peralihan cuaca, pencemaran, gelombang panas, gempa bumi, dan banjir ialah teror khusus untuk warga dan usaha ibukota.
Jakarta dipanggil sebagai “kota dengan performa terjelek dalam rangking”, dituruti oleh Delhi di India – yang masing-masing memuat lebih dari 10 juta orang – dalam sebuah study pada 576 kota paling besar di dunia yang sudah dilakukan oleh konselor resiko usaha yang berbasiskan di Inggris, Verisk Maplecroft.
Pusat keuangan Indonesia dan kota dengan penduduk paling padat mendapatkan score buruk sekali dalam soal pencemaran udara, gempa bumi, dan banjir. Laporan itu menulis jika Bandung dan Surabaya termasuk juga antara 10 kota paling rawan lingkungan di dunia.
“Dengan bertambahnya emisi yang menggerakkan resiko berkaitan cuaca dan perkembangan komunitas di beberapa kota di negara berkembang, resiko pada masyarakat, asset konkret, dan operasi komersil cuman bakal bertambah,” catat kepala lingkungan dan peralihan cuaca Verisk Maplecroft Will Nichols dari laporan yang diedarkan di hari Rabu.
Misalnya, banjir di Jakarta di tahun 2020 memaksakan lebih dari 34.000 warga tinggalkan tempat tinggal mereka dan, menurut ketua Himpunan Pebisnis Indonesia (Hippi) Sarman Simanjorang, rugi ekonomi diprediksi capai Rp 1 triliun (US$70,05 juta) karena beberapa toko hancur. ditutup dan rantai suplai terusik.
Kepala Lingkungan Hidup Jakarta Syarifudin menjelaskan kemacetan jalan raya dan pencemaran udara dan air umum terjadi di beberapa kota fantastis di penjuru dunia. Pemerintahan Jakarta sudah mengaplikasikan beberapa langkah untuk menangani permasalahan ini, tapi kerja-sama dengan wilayah tetangga masih tetap penting, sambungnya.
“Pengaturan pencemaran air di sungai, misalkan, mewajibkan pemerintahan Depok, Bekasi, Bogor [Jawa Barat] dan Tangerang [Banten] untuk mengatur pencemaran air di daerahnya masing-masing karena sungai kita tersambung,” ucapnya, Minggu.
Resiko lingkungan Jakarta benar-benar menakutkan hingga Presiden Indonesia Joko “Jokowi” Widodo mengaku di tahun 2019 jika itu ialah sebuah argumen khusus pemerintahan ingin mengalihkan ibukota negara ke Kalimantan Timur. “Kita harus stop banjiri Jakarta dengan kelebihan warga, kemacetan jalan raya, dan pencemaran air dan udara.
Beberapa masalah ini harus kita tangani,” kata Jokowi dalam pertemuan jurnalis di Istana Merdeka, 26 Agustus 2019. Juru kampanye cuaca dan energi Greenpeace Asia Tenggara Tata Mustasya menjelaskan pada Sabtu jika loyalitas pemerintahan untuk kurangi emisi gas tempat tinggal kaca jadi kunci dalam mitigasi Jakarta. resiko lingkungan dan cuaca.
Indonesia, sama sesuai komitmennya pada Kesepakatan Paris yang perlu, sudah memiliki komitmen untuk kurangi emisi gas tempat tinggal kacanya minimal 29 % dibanding dengan skenario usaha seperti umumnya di tahun 2030, tapi banyak periset skeptis pada kesempatan kesuksesan negara itu, khususnya karena bertambahnya pemakaian bahan bakar fosil.
Di bulan Maret, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan umumkan jika pemerintahan merencanakan untuk memutuskan sasaran 0 emisi bersih untuk tahun 2070. “Loyalitas Indonesia pada emisi 0 bersih, selama ini, diputuskan untuk tahun 2070, yang bakal telat, karena peralihan cuaca bakal merusak mata pencarian warga di saat itu, khususnya mereka yang tinggal di wilayah rawan seperti Jakarta,” ucapnya ke The Jakarta Post lewat panggilan telephone.
Saat itu, Direktur Eksekutif Rujak Center for Urban Studies Elisa Sutanudjaja menekan pemerintahan Jakarta untuk mempererat ketentuan berkaitan industri transportasi kota untuk kurangi pencemaran udara.
Peraturan Pemerintah provinsi DKI Jakarta yang direalisasikan dalam program Jakarta Cleaner Air ini mengasumsikan kendaraan motor memberinya kontributor paling besar pada polusi udara Jakarta yakni sejumlah 46 %.
Karena itu, Jakarta sudah mencanangkan beberapa program pengendalian pencemaran transportasi, misalnya dengan meluaskan transportasi biasa dan mengaplikasikan zone bebas emisi. “Untuk pemda, jalan keluar mitigasi yang termudah dan cepat dengan lakukan interferensi di bidang transportasi dan mobilisasi,” katanya.
Terutamanya, barisan lingkungan, seperti Pusat Riset Energi dan Udara Bersih (CREA), sudah melawan anggapan kota dengan peta yang memperlihatkan jika beberapa fantastis pencemaran datang dari pembangkit listrik tenaga batu bara di propinsi tetangga Banten dan Jawa Barat